ML dengan para istri tetangga .....
Dikampungku aku biasa dipanggil Billy. Maklum postur tubuh yang
tinggi besar dan wajah mirip londo membuat orang kampung
mengidentikanku dengan turunan londo.
Sejak umur 15
tahun, aku dianggap orang kampungku sebagai anak yang punya kelebihan
supranatural. Tak heran sejak umur segitu aku sering bergelut dengan
hal yang sifatnya mistis, meskipun sebenarnya aku sendiri tak yakin aku
bisa. Misalnya aku sering dimintai tolong sembuhkan orang kampung yang
sakit perut, sakit bisul, muntah-muntah, atau sakit ringan lainnya.
Dan entah kenapa tiap obat yang aku anjurkan pada mereka kok kebetulan
menyembuhkan penyakitnya.
Sekarang ini usiaku 24 tahun,
sedang kuliah di kota M dan tetap saja banyak yang percaya aku mampu
dalam hal supranatural. Dikota M aku juga terkenal bisa menyembuhkan
banyak penyakit, malah urusan seks yang dingin atau tak kunjung dapat
momongan bisa langsung kontak aku di kota itu.
Suatu
siang sehabis kuliah, aku kedatangan pasien wanita Susi namanya. Susi
ini tahu alamatku diantar Retno, teman sekampusku yang dulu pernah
kutolong waktu sakit malaria kronis dan sembuh.
"Tolong saya Mas
Billy, suami saya kok suka jajan di luar dan nggak perhatian lagi sama
keluarga," kata wanita beranak satu itu padaku. Sebenarnya aku bingung
juga mau bilang apa, tapi karena dia memelas begitu aku jadi nggak
tega. Susi aku suruh masuk kamar praktekku, sedangkan Retno tunggu
diruang tamu rumah kontrakanku.
"Begini Mbak Susi, untuk menolong
orang saya harus tahu ukuran baju, celana dan sepatu orang itu. Jadi
berapa ukuran Mbak," kataku setelah kami duduk berhadapan dihalangi
meja kerjaku.
Susi yang bertubuh agak pendek tapi seksi itu jadi bingung dengan pertanyaanku.
"Ehmm, anu Mas, berapa ya ukurannya.. tapi baju M celana 28 dan sepatu 37 mungkin pas Mas," jawabnya masih bingung juga.
"Oke-oke kalau nggak tahu pasti biar tak ukurkan ya," kataku sambil mengambil penggaris ukur dari kain.
Seperti
penjahit baju yang terima pesanan aku mulai mengukur bagian tubuh Susi
mulai bahu, dada, perut, pinggang, pinggul, plus kaki.
"Nah
sekarang sudah ada ukuran pastinya, saya bisa bantu masalah Mbak,"
kataku, yang kelihatan membuat Susi berbinar karena merasa akan
tertolong.
Susi pun mulai menceritakan perilaku Anto,
suaminya. Sejak menikah dan punya anak, Anto masih setia, tapi beberapa
bulan ini Anto mulai suka keluyuran dan suka jajan pada wanita lain.
"Saya
jadi bingung Mas, kalo saya marah dia malah ancam mau cerai. Saya
takut kalau dicerai Mas, bagaimana nasib anak saya," keluh wanita
berkulit sawo matang itu.
"Ya sudah, itu masalah sepele kok Mbak.
Nanti Mbak saya kasih susuk pemikat sukma supaya suaminya nempel terus
kayak perangko," ucapku sekenanya. Kemudian aku menyuruh Susi
menanggalkan seluruh pakaiannya termasuk pakaian dalamnya dan hanya
menggunakan sarung bermotif kembang yang telah kusediakan untuknya.
Meski
sempat ragu tapi Susi melakukannya juga. Sementara aku menyiapkan
berbagai perlengkapanku, mulai kembang dan air dalam baskom, serta jarum
susuk yang memang sudah lengkap tersedia di ruang praktekku.
"Nah
sekarang Mbak berbaring di dipan itu ya, dan jangan banyak bergerak.
Pokoknya konsentrasi pikiran pada suami Mbak dan sebut terus namanya,"
perintahku pada Susi. Bagai dicocok hidung Susi menurut saja dan segera
berbaring di dipan dengan mata terpejam.
Untuk sesaat aku
memperhatikan tubuh Susi dari kursi praktekku. Wow, boleh juga
tubuhnya, bahenol walau agak mini. Aku menyiapkan kembang dalam baskom
berisi air dan mendekati Susi yang terbaring di dipan kayu.
"Sabar ya Mbak, sebentar lagi kita mulai pengobatannya," kataku meyakinkan Susi.
Susi
masih terpejam ketika kucipratkan air dan kembang yang kusiapkan tadi
ke sekujur tubuhnya. Sengaja aku merapalkan mantra yang tak jelas
dengan mulut komat-kamit persis dukun sungguhan.
Lalu
setangkai kembang ditanganku kuusap-usapkan di wajah Susi dengan irama
usapan yang searah jarum jam. Kulihat reaksi diwajah Susi menahan geli
ketika kembang itu mulai kuusapkan di bagian leher dan terus turun
kepangkal dadanya yang terbungkus sarung.
"Nah sekarang buka matanya Mbak," perintahku.
"Sudah selesai belum Mas Billy?," tanyanya tetap terbaring di dipan.
"Oh
ya belum toh. Bagaimana Mbak ini maunya cepat, ini kan proses pasang
susuk Mbak nggak boleh buru-buru. Kalau nggak cocok bisa fatal
akibatnya," ujarku sekenanya.
"Terus sekarang apalagi Mas?," Susi makin penasaran.
"Maaf
Mbak ya, sekarang Mbak turunkan sarung itu sebatas perut supaya saya
bisa mendeteksi aliran darah Mbak. Biar susuknya tepat pasangnya gitu
loh," kataku. Susi sempat melotot heran bercampur jengah, tetapi dia
nurut juga menurunkan sarung yang membungkus tubuhnya sampai keperut
dengan wajah malu-malu. Wah, boleh juga payudara wanita ini, kalau
dikasih Bra kira-kira ukuran 36B lah, lumayan masih padat walau sudah
beranak satu. Susi kembali terpejam, dan aku kembali mengambil kembang
dan mencipratkan airnya ke arah buah dada dan perut Susi. Dengan kembang
yang sama aku usap-usapkan di daerah dada dan perut Susi. Tubuh Susi
mengelinjang kegelian waktu usapanku mulai menyentuh puting susunya.
"Oke.. boleh buka matanya Mbak," kataku setelah puas mengusap susu Susi dengan kembang.
"Wah, Mas kok lama sekali sih prosesnya," protes Susi, tapi tetap terbaring diranjang.
"Gimana
ya jelaskannya Mbak, soalnya aliran darah Mbak aneh sih. Ini saja
masih perlu deteksi lagi supaya ketahuan aliran darah aslinya. Tapi
kalau Mbak mau stop ya terserah, saya tak bisa bantu lagi, gimana?,"
balasku dengan mimik serius.
"Iya deh saya pasrah, tapi sekarang apa lagi?," tanya Susi lagi.
"Maaf
lagi ya Mbak, sekarang jalan satu-satunya supaya aliran darah Mbak
kelihatan, Mbak harus tangalkan sarung itu. Telanjang bulat Mbak,"
pintaku dengan nada yang kubuat serius.
Meski kaget dan hendak
protes, tapi Susi akhirnya nurut juga. Sarung yang dikenakannya
ditanggalkan dan dibiarkan luruh kelantai, dan ia kembali berbaring di
dipan kayu dengan mata terpejam.
Sekarang aku yang jadi
bingung dan blingsatan melihat sesosok wanita bugil tanpa busana
dihadapanku. Tubuh Susi benar-benar menggairahkan, rasanya bodoh betul
si Anto, suaminya itu, kok nggak bersyukur punya istri semolek Susi
ini.
Aku kembali menghampiri Susi dengan kembang dan air
di baskom. Perlahan kembali kuusap-usapkan kembang itu dari wajah,
leher, dada, dan perut Susi. Usapan-usapan erotis di bagian atas tubuh
Susi membuat wanita itu menggelinjang menahan geli. Napas Susi pun
mulai cepat memburu, biasanya dalam fase seperti itu, seorang wanita
sedang dilanda gejolak yang mengarah birahi.
Usapanku mulai merambat turun ke arah paha, tapi belum menuju selangkangan Susi.
"Nah ketemu Mbak, sabar ya. Sudah ketemu nih tempat pasang susuknya," kataku memberi harapan.
Kembang
di tanganku kembali kuusapkan di daerah paha bagian dalam dan sesekali
naik menyentuh bibir vagina Susi. Gerakan mengusap seperti itu
kulakukan berulang ulang di daerah yang sama, sampai akhirnya jarak
kedua kaki Susi mulai merenggang. Bukan main gundukan kemaluan Susi,
bulunya jarang dan bibir vaginanya kelihatan masih ranum. Aku sendiri
kehilangan konsentrasi gara-gara melihat pemandangan itu. Kini kembang
ditanganku aku buang dalam baskom, dan usapan di tubuh Susi kugantikan
dengan tangan kananku. Susi masih terpejam dan napasnya semakin tak
beraturan ketika sentuhan tanganku menjelar di atas tubuh bugilnya.
"Uhh Mas, dimana sih tempat pasang susuknya? Saya nggak kuat begini terus," Susi bertanya dengan mata tetap terpejam.
"Iya
Mbak, tenang ya, ini sudah ketemu," kataku sambil menghentikan
sentuhan tangan tepat di selangkangannya. Tanganku mulai memainkan bibir
vagina Susi dengan tempo yang teratur dan ritme naik turun. Susi
kelihatan sudah terpengaruh, nafsunya gesekan tanganku di bibir
vaginanya diimbangi gerakan pinggulnya searah gerakan tanganku.
"Ohh.. geli sekali Mas disitu," Susi mulai menceracau sendiri, napasnya semakin tak beraturan.
Aku
sendiri sudah tak bisa menahan nafsuku, perlahan aku buka kedua
kakinya semakin lebar sehingga gundukan vaginanya terlihat makin jelas.
Cairan vagina Susi semakin banjir dan tubuhnya mengejang kecil saat
jemari tangan kananku menjepit-jepit klitorisnya. Wajah Susi benar-benar
enak dilihat dalam keadaan seperti itu, mata terpejam dan bibir saling
memaggut menahan geli dan nikmat gesekan jariku di vaginanya.
"Oke Mbak sebentar lagi ya, sekarang Mbak tahan ya saya akan pasang susuknya," pintaku.
Jari
tengahku kumasukkan perlahan ke liang vagina Susi, lalu kutarik lagi
keluar secara perlahan pula. Itu kulakukan berkali-kali dan
terus-menerus.
"Engghh.. isshhtt.. ," Susi melenguh, pinggulnya semakin liar bergoyang dan berputar.
Susi
sudah dalam kendaliku secara total, posisi tanganku di vagina Susi
kini kuganti dengan jilatan lidahku di daerah vital Susi itu. Kami sudah
sama sama di atas dipan itu, hanya bedanya aku masih lengkap
berbusana, sedangkan Susi bugil total. Reslueting celanaku kubuka,
sejak tadi aku memang sengaja tak pakai CD sehingga penisku langsung
meloncat keluar begitu kancing dan reslueting celana kubuka.
"Usshh
Mas.., saya nggak taahann lagi," kaki Susi menjepit kepalaku di
selangkangannya, pinggulnya naik turun mendesak-desak mulutku yang
menjilati klitorisnya.
Aku bangkit mengambil posisi tepat
diatas tubuhnya, bibir Susi yang menceracau langsung kusumpal dengan
bibirku. Saat ini Susi terbelalak membuka matanya, tapi belum sempat
bereaksi apa-apa, penisku yang sudah tegang dan tepat di pinggir bibir
vagina Susi segera aku benamkan keliang nikmat Susi yang sudah licin
basah. Bless..!
"Nghh duhh Mass, ohh..," Susi mendesis saat
penisku menembus bibir vaginanya dan masuk ke liang nikmatnya. Susi tak
menolak kehadiran penisku di vaginanya. Aku berhasil menyetubuhi
pasienku lagi.
"Tahan Mbak ya.. memang begini aturan prosesnya.
Yang penting rumah tangga Mbak selamat ya," ujarku sambil menggenjot
pinggulku di atas tubuh Susi. Tubuh Susi yang cukup mungil bagiku yang
jangkung membuat aku dengan leluasa menggenjotnya dengan posisi
konvensional. Penisku berkali-kali menghujam vagina Susi membuat wajah
Susi semakin terlihat ayu menahan kenikmatan dari penisku.
Sampai
belasan menit berlalu dengan posisi itu, akhirnya kurasakan tubuh Susi
mengejang sesaat dan terasa pula denyutan kontraksi otot vaginanya
pada batang penisku yang masih tegang.
"Ouhhss.. eehgghh," Susi
rupanya sudah sampai klimaks, tubuhnya semakin tegang dan pinggulnya
mendesak naik seperti ingin terus merasakan sensasi orgasmenya.
Beberapa detik kemudian, aku pun merasa aliran darahku mengumpul di
bagian pangkal penisku, dan croot.. croot.., kumuntahkan spermaku di
dalam vagina Susi sementara tubuh tegangku mendekap erat tubuh Susi
yang sudah lunglai.
"Sudah selesai Mbak Sus.., sekarang suamimu
pasti tak akan jajan di luar lagi. Susuk pemikat sukma itu sudah
kutanam di rahimmu Mbak," kataku seraya meraihnya bangkit dari dipan
kayu.
Setelah berpakaian kami kembali duduk di kursi dihalangi meja kerjaku.
"Maaf
ya Mbak kalau prosesnya agak seronok begitu," aku melihat Susi agak
kikuk setelah sadar bahwa kami baru saja melakukan hubungan seks yang
hangat.
"Ehm nggak apa Mas, yang penting rumah tangga saya utuh.
Terima kasih Mas," Susi lalu bangkit dan menyodorkan uang pecahan
seratus ribu padaku.
"Oke Mbak, mudah-mudahan khasiat susuknya
manjur ya. Nanti kalau masih ada keluhan, Mbak boleh konsultasi lagi
kesini," kataku. Susi kemudian keluar kamar dan bersama Retno, mereka
pulang, meninggalkanku sendiri.
Entah susukku itu manjur
atau kebetulan, sejak saat itu Susi tak pernah lagi kembali. Hanya
sempat sekali dia kembali dan minta dipasang susuk pelaris warung
karena ia mau buka usaha warung makan. Nah untuk kali itu meski
susuknya tak kupasang di vagina, tapi Susi sendiri yang minta supaya
dipasang seperti susuk pertama, biar khasiatnya ampuh katanya.
Malam
itu aku baru saja happy-happy dengan Johan dan Aris, teman kampusku.
Kami bertiga menghabiskan belasan botol bir pilsener untuk merayakan
ultah Aris di rumah Aris. Aku pulang dengan pandangan yang agak goyang,
tapi sampai juga dengan selamat di rumah kontrakanku tepat jam 10
malam.
Sehabis mandi dan makan mie rebus, aku menikmati
tayangan sinetron humor di sebuah saluran televisi di ruang depan.
Rumah kontrakanku memang kecil, tipe 21, hanya ada kamar tidur, ruang
praktekku, dan secuil ruang depan atau ruang tamu. Sisanya ya.. dapur
dan kamar mandilah. Waktu itu jam sudah beranjak ke angka 10 lewat 30
menit malam, tiba-tiba bel pintu berbunyi.
"Permisi Mas Billy..,
Mas.. permisi," terdengar suara anak lelaki dibalik luar pintu. Aku
langsung membukakan pintu dan melihat siapa yang datang.
"Eh Maman, ada apa Man malam-malam begini?," tanyaku pada Maman, anak kelas tiga SD yang termasuk tetanggaku.
"Anu
Mas.., Mbak Ais pingsan. Saya disuruh bapak minta tolong sama Mas
Billy ngobatin Mbak Ais," kata Maman sambil memegangi tanganku. Maman
adalah anak Pak Budi, pegawai negeri yang rumahnya hanya berselat
delapan rumah dari rumah kontrakanku. Sedangkan Ais yang disebut Maman,
ialah Aisyah, kakak perempuan Maman yang sudah kelas dua SMU.
"Oke-oke..,
Maman pulang duluan ya, nanti Mas Billy susul," pintaku padanya. Maman
pulang, sementara aku menyiapkan peralatanku mulai minyak gosok, body
lotion dan kembang, lalu akupun menuju rumah Pak Budi.
"Ini
lho Dik Billy, Ais mendadak pingsan habis makan malam tadi. Saya jadi
khawatir, mana bapaknya lagi dinas luar kota lagi," Ibu Budi langsung
menyampaikan ketakutannya waktu aku datang.
"Lho kata Maman tadi bapak yang nyuruh saya datang, kok dinas luar gimana sih Bu?," aku jadi sedikit bingung juga.
"Iya tadi waktu Ais pingsan, saya telepon bapaknya dan dia yang suruh minta bantuan Dik Billy," jelas Ibu Budi.
"Oh gitu, sekarang Ais mana? Biar saya lihat keadaannya,"
"Ada
Dik di dalam kamarnya, ayo saya antar," Ibu Budi bangkit dan
mengantarku kekamar Ais. Istri Pak Budi masih terlihat seksi walau
usianya sudah masuk 37 tahun, apalagi malam itu hanya pakai daster
longdres yang tipis. Lekuk tubuh dan kulitnya yang putih membayang
jelas, soalnya aku jalan tepat di belakangnya waktu menuju kamar Ais.
Kulihat
Ais terbaring lemas di kamarnya, setelah kupegang dahinya kupastikan
Ais hanya masuk angin. Ditemani Bu Budi aku menyelesaikan tugasku
menyadarkan Ais dari pingsan, caranya sangat mudah bagiku, dengan
minyak gosok kuurut beberapa urat dibelakang tengkuk Ais. Tak lama
setelah itu, Ais sadar dan membuka matanya.
"Wah pintar sekali ya Dik Billy ini," pujian Bu Budi langsung mengalir begitu Ais bisa duduk ditepi ranjangnya.
"Ah
Ibu ini, saya hanya kebetulan punya kelebihan kok. Nah sekarang Ais
minum air hangat yang banyak ya, biar punya tenaga," kataku mengajurkan.
Wajah Ais hampir sama cantiknya dengan Bu Budi, tapi bodynya masih
belum terbentuk dengan dada yang tampak kecil.
"Makasih ya Mas,
jadi ngerepotin," Ais melempar senyum manisnya padaku. Setelah itu aku
bangkit dan duduk di ruang tamu, sedangkan Bu Budi ke dapur untuk
membuatkan teh hangat untuk Ais.
"Gimana Dik Billy? Apa
penyakit Ais nggak berbahaya toh," Bu Budi bertanya dengan mimik serius
menghampiriku dan duduk dikursi tepat dihadapanku, usai mengantar
segelas teh ke kamar Ais. Pertanyaan yang lucu, tapi kupikir membawa
cukup celah bagiku untuk melancarkan aksi usilku.
"Sebenarnya ada yang mengkhawatirkan Bu..," sengaja tak kuteruskan kalimatku supaya Bu Budi bingung dan panik.
"Menghawatirkan
bagaimana toh? Tolong dong disembuhkan sekalian biar nggak nakutin
gitu lo," benar dugaanku, Bu Budi langsung panik dan mengharap
jawabanku. Aku langsung pasang wajah serius dan mendekatkan wajahku
dengan cara sedikit menunduk di meja penghalang duduk kami berdua.
Melihat itu Bu Budi juga segera merunduk mendekati wajahku untuk
mendengar penjelasanku.
"Begini Bu, pengamatan batin saya, Ais
bukan hanya masuk angin biasa tapi ada orang iseng yang coba
mengguna-gunai dia. Mungkin pacarnya, atau mungkin lelaki yang cintanya
ditolak Ais, Bu," kataku.
"Ah masak sih Dik? Terus bagaimana
dong," Bu Budi semakin merunduk, sehingga aku bisa melihat bongkahan
pangkal susunya yang masih kencang dibalik daster tipisnya.
"Ibu
tenang saja, saya pasti bantu. Tapi syaratnya agak berat Bu, saya harus
meruwat beberapa bagian tubuh Ais secara langsung," aku menjelaskan.
"Meruwat gimana sih," Bu Budi semakin bingung.
"Maaf
ya Bu, tapi saya harus mengeluarkan guna-guna dari bagian vital Ais,
payudara dan vaginanya. Tapi saya juga nggak tega, nanti dia malu
lagi," wajahku seperti orang yang sedang berpikir.
"Apa ngak ada cara lain Dik, selain itu. Ais pasti nggak mau loh," jawab Bu Budi bermimik bingung.
Aku tak langsung menjawab pertanyaan Bu Budi. Jam kulihat sudah menunjuk angka 11.30 malam didinding ruang tamu.
"Ada
Bu cara lain, namanya transformasi. Saya bisa melakukan ruwat itu
dengan media tubuh lain yang golongan darahnya sama dengan Ais. Dik
Maman golongan darahnya apa Bu?" tanyaku memancing.
"Wah.., sayang
sekali Maman darahnya B. Tapi kalau saya bisa nggak Dik? Saya juga B
sama kayak Ais," pancinganku rupanya membawa hasil. Setelah itu, aku
mengarahkan dan menjelaskan bagaimana proses ruwat yang nantinya akan
kulakukan pada Bu Budi. Dengan kepala manggut-manggut, Bu Budi akhirnya
paham dengan penjelasanku.
"Sebenarnya risih juga sih, tapi
gimana lagi ya demi Ais? Iya deh Dik, terserah Dik Billy yang penting
Ais sembuh total," katanya pasrah.
Waktu itu Ais dan Maman
sudah tidur, dan Bu Budi bersamaku beranjak ke kamar tidurnya untuk
melakukan ruwatan itu. Sampai di kamar itu, Bu Budi langsung berbaring
di ranjang dan aku duduk di tepi ranjang sebelah kiri.
"Sekarang Ibu konsentrasi dan tujukan pikiran ke Ais ya,"
"Ehm..
iya Dik, saya coba," Bu Budi yang terpejam ternyata semakin cantik,
wajahnya mirip artis Nani Wijaya di masa muda dulu. Kutelusur
pandanganku dari wajah hingga ujung kaki Bu Budi, bodynya pun masih
sangat bagus mirip gadis 24 tahunan dengan buah dada yang lumayan dan
kulit mulus betisnya yang putih. Aku mulai beraksi, tanganku mulai
mengusap-usap kening, pipi, dan leher Bu Budi, itu kulakukan sekitar
lima menit lamanya.
"Sekarang buka matanya Bu," pintaku segera diikuti Bu Budi.
"Maaf
ya Bu, saya harus teruskan prosesnya. Mungkin Ibu agak rikuh, tapi
saya sudah sering melakukan seperti ini kok, jadi Ibu nggak usah
khawatir ya, soalnya memang begitu caranya,"
"Duh gimana ya Dik..?
tapi nggak usah cerita ke bapak ya kalau prosesnya seperti ini," Bu
Budi nampak bersemu rikuh, mungkin dirinya mulai berpikir sesaat lagi
lelaki yang bukan suaminya ini akan melihat seluruh lekuk tubuh dan
bagian vital yang selama ini hanya untuk Pak Budi.
"Iya Bu, itu
sudah kewajiban saya kok," aku lalu meminta Bu Budi menanggalkan Bra
dan Cd nya, sedangkan daster tipisnya sengaja kusisakan untuk menutup
rikuhnya. Bu Budi kembali terpejam, dan perlahan aku membuka dua
kancing daster bagian atasnya dan menurunkan daster itu sebatas perut,
membiarkan buah dada Bu Budi yang syuur itu bebas keluar. Ternyata
benar dugaanku tubuh Bu Budi memang sangat mulus dan terawat, putih dan
tak bercacat dengan postur proporsional.
"Maaf ya Bu," aku
langsung mengusap sekitar buah dada Bu Budi dengan usapan tangan searah
jarum jam. Bu Budi tak bersuara, tapi keningnya sesekali berkerut
ditengah usapan-usapan lembut tangan kananku didadanya.
Usapan
kunaikan menjadi remasan kecil dan mulai menyentuh puting susunya,
kadang kucubit kecil puting susu itu membuat Bu Budi menggelinjang
menahan geli, tapi tetap tak bersuara.
Setelah mengusapi
buah dadanya, aku mulai mengusap bagian betis Bu Budi dan terus naik ke
paha hingga daster bagian bawah tersingkap naik dan berkumpul ditengah
perutnya. Kini, pemandangan dihadapanku benar-benar menggoda
kejantananku. Bu Budi juga ternyata memiliki vagina yang indah dihiasi
bulu tebal yang dicukur rapi 2 cm panjangnya.
"Sekarang Ibu boleh buka mata," kataku.
"Terus apa lagi Dik," tanya Bu Budi dengan raut memerah bertambah rikuh padaku.
"Maaf
Bu, sekarang tahap utamanya, saya harus menyedot guna-guna di tubuh
Ais dengan media tubuh Ibu. Ibu bisa tahan kan? Paling prosesnya hanya
makan waktu 15 menit. Tapi tahap ini Ibu ngak boleh tutup mata,"
jawabku meyakinkannya.
"Iya deh Dik.. tapi tolong cepetan ya, saya rikuh nih," Bu Budi menjawab pasrah.
Dengan
menatap wajah Bu Budi yang bersemu merah aku mulai mendaratkan bibirku
diputing susu kanan Bu Budi, susu terdekat pada posisi dudukku disisi
kiri ranjang. Putting yang ranum kemerahan itu kujilati perlahan lalu
kuhisap-hisap beraturan.
"Hsst uuhh.. Dik," suara tertahan Bu Budi
terdengar waktu hisapanku agak kuat diputing susunya. Putting susu
kiri pun jadi sasaran hisap dan jilat selanjutnya, sementara kedua
tanganku memeganggi susu seksi Bu Budi sambil terus menghisap dan
menjilat bergantian susu itu.
"Uhh.. gelii Dik..," Bu Budi
mengelinjang saat isapan dan jilatan dikedua susunya kupercepat
ritmenya, tangannya meremasi sprei ranjang.
"Tahan sebentar lagi
ya Bu, hampir selesai dibagian ini. Kalau tidak tuntas nanti Ais nggak
sembuh total," kataku menghIburnya. Aku mengambil dua tangan Bu Budi
dan meletakkannya agar mendekap bahu dan leherku, Bu Budi menurut, dan
aktifitasku kulanjutkan lagi menjilat dan menghisap susunya.
Napas Bu Budi mulai tersengal dan remasan tangannya dibahuku semakin lama semakin kuat menahan geli yang sangat disusunya.
"Mffhh
oouhh..," Bu Budi mulai menggeliat-geliat mengikuti irama jilatan di
susunya. Kupandang wajahnya, ternyata sorot matanya mulai redup khas
wanita yang dilanda birahi. Tak mau hilang kesempatan, tangan kananku
segera merayap menjelajahi perut dan pahanya. Bu Budi semakin terpojok,
tangan kananku kini sudah mulai mengusap usap paha bagian dalam Bu
Budi, kakinya merenggang dengan posisi lutut kaki kanan dinaikan
sehingga tanganku lebih leluasa menggerayangi paha bagian dalam itu.
Sesekali jemariku menyentuh bibir vagina Bu Budi, dari situ aku tahu Bu
Budi sudah dirasuki birahi yang sangat, kurasakan tanganku menyentuh
cairan kental yang sudah membasahi vaginanya.
"Oke Bu,
sudah selesai di bagian dada. Sekarang tahap utama kedua, saya harus
menghisap dan mengeluarkan guna-guna di tubuh Ais lewat kemaluan Ibu.
Ibu tahan ya," Kulihat Bu Budi sudah pasrah benar, dengan pandangan
sayu ia hanya bisa mengangguk. Aku pun segera beralih posisi dan
jongkok tepat disela kedua kakinya yang sudah tertekuk naik. Vagina Bu
Budi memang sudah basah, tapi dua bibirnya masih sangat ranum dan
terlihat kencang. Setelah membersihkan vaginanya dengan ujung sprei yang
berhasil kuraih, aku lalu mulai menjilati vaginanya.
"Aauuhh.. iihh.. geelii Dik, saya nggak tahan," Bu Budi pekik tertahan dan tangannya meremasi kepalaku di selangkangannya.
"Tenang
dulu Bu, saya harus cari posisi guna-gunanya. Agak geli Bu ya,"
aktifitas sengaja kuhentikan dan mengajak Bu Budi bicara.
"Ehhmm
he-eh Dik, geli sekali, soalnya saya nggak pernah dijilatin gitu
itunya," Bu Budi bicara dengan suara serak dan napas tersengal, aku
lanjutkan lagi aktifitasku. Aku yakin ini pengalaman baru buatnya karena
Pak Budi tak pernah melakukan foreplay semacam ini setiap kali ngeseks
dengan istrinya ini. Cairan asin yang keluar dari vagina Bu Budi
semakin banyak, dan kini pinggulnya mulai bergerak mengikuti irama
jilatanku. Sambil melakukan itu kuintip wajah Bu Budi yang sudah total
birahi, kepalanya bergerak-gerak tak beraturan setiap kali jilatan dan
isapan kusasarkan di klitoris vaginanya bersamaan rintihan yang semakin
tak karuan dari bibirnya.
Penisku sudah berdiri tegak,
apalagi melihat gerakan dan mendengar rintihan Bu Budi yang kian
erotis. Sambil aktifitas kubuka celanaku sebatas paha sehingga penisku
yang berukuran lumayan panjang dan besar meloncat kegirangan.
"Bu..,
guna-gunanya hampir keluar, tapi harus dicungkil dari dalam vagina
dengan jari atau alat lain," aku hentikan jilatanku, dengan segera
menaikkan posisi tubuhku. Posisiku seolah menindih tubuhnya tetapi
tubuh kami tak bersentuhan karena kutopang dengan dua tanganku.
"Bagaimana Bu?," sebelum Bu Budi bereaksi aku bertanya dengan wajah sudah demikian dekat dengan wajahnya.
"Terserah
Dik, lakukanlah.. mffphh," diluar dugaanku, Bu Budi ternyata agresif
menyambar bibirku dengan kuluman yang penuh nafsu. Topangan tanganku
terlipat sehingga tubuh kami langsung saling tindih, dalam posisi itu
kuusahakan celanaku lepas total dari kaki, dan berhasil. Kini penisku
yang mengacung tepat berada dibelahan bibir vagina Bu Budi. Ciuman
bibir kami masih berpagut sedangkan pinggul Bu Budi mulai
mendesak-desak naik mencari batang kenikmatanku.
Sengaja keadaan itu kugantung, aku ingin ia menrengek dan meminta agar aku menyetubuhinya.
"Mnffh.. uuhhm, ayo Dik cungkil guna-guna itu..," Bu Budi melepas pagutan bibirnya dan merengek padaku.
"Maaf Bu.., tapi apa Ibu nggak marah nih," gurauku.
"Ayoo
Dik Billy, udah kepalang tanggung lagipula.. oughh.. asstt," belum
selesai bicara, Bu Budi langsung kuserang dengan ciuman di bibir, leher
dan susu bergantian, sementara ujung penisku yang sudah terjepit
sebagian di bibir vaginanya kutekan masuk sampai amblas. Bleess..
jleepp.. jleepp. Bu Budi menyambut penisku dengan goyangan pinggulnya
yang erotis, baru kali ini kurasa vagina wanita yang berkontraksi
sebelum ia orgasme, orang bilang empot-empot.
"Ouuhh Dik.. aahh,
eenaak Dik aeehh..," Bu Budi menceracau dan tangannya mengoyak-koyak
baju yang masih kukenakan. Ritme pompa penisku kutingkatkan cepat dan
teratur dengan dua tangan menopang tubuh bagian atasku. Bu Budi semakin
hilang kendali, kepalanya bergerak kanan-kiri, gyang pinggulnya
semakin liar seirama rintihannya yang makin kacau pula.
15 belas menit berlalu, dan kurasa Bu Budi sudah hampir tiba pada puncaknya.
"Aaahh
Dik, saya mau keluar Dik..," Bu Budi bergerak semakin cepat dibawah
kendali penisku. Sebelum dia mencapai orgasmenya, penisku secepat
mungkin kutarik keluar sekaligus menjauhkan diriku dari tubuhnya.
"Ouhhgghh..
ohh, kenapa berhenti Dik? Ayo dong teruskan, saya hampir sampai," Bu
Budi merengek dengan wajah yang masih penuh birahi.
"Maaf Bu, tapi
sudah selesai ruwatnya. Guna guna di tubuh Ais sudah keluar melalui
ruwat tadi, kan kita melakukannya untuk mengobati Ais," kataku padanya.
Bu
Budi tersentak sadar, mungkin dia kecewa juga telah hanyut dalam
birahi tadi. Tapi tak lama kemudian meluncur cerita dari bibirnya yang
tipis, katanya Pak Budi tak pernah memberikan kepuasan seksual yang
maksimal, meskipun hubungan seks mereka lakukan dua hari sekali.
"Bu.. apa Ibu mau kita lanjutkan lagi?," aku mengusap lembut dahi Bu Budi.
"Kalau Dik Billy nggak sudi, ya sudah nggak apa kok," Bu Budi menampakkan raut kecewa.
"Bukan
begitu Bu. Saya mau lanjutkan asal kita berdua telanjang bulat, dan
tolong Ibu bayangkan bahwa saya adalah Pak Budi, supaya nggak rikuh
Bu," kataku seraya melepas luruh dasternya yang terkumpul di bagian
perut, aku pun menanggalkan bajuku.
Kami kembali saling
pagut, dan saling tindih. Penisku langung kuhujamkan ke vaginanya dan
kami kembali larut dalam permainan seks tengah malam. Sampai akhirnya,
"Ahh
oohh.. ngghh ahh," Bu Budi mengerang kuat mengigit bahuku saat
serangan orgasme tiba pada vaginanya. Kontraksi vaginanya terasa jelas
menjepit-jepit penisku yang masih aktif. Genjotan kunaikkan lebih kuat
dan cepat, membuat Bu Budi benar benar tuntas orgasme. Tak lama
berselang, aku pun tiba pada puncak nikmatku.
"Ihh.. ohh
sayang..," tubuhku tegang dan penisku terhentak hentak berkali kali
dalam vagina Bu Budi sambil menyemburkan sperma. Aku lunglai dan
mengambil tempat disisi kiri Bu Budi, kami kelelahan tanpa sadar saling
berpelukan dan akhirnya lelap tertidur.
Waktu terjaga jam
sudah menunjuk angka 07.30 Wita, suara di luar kamar Bu Budi terdengar
menandakan Maman dan Ais sudah bangun. Aku dan Bu Budi segera
merapikan diri dan mengenakan pakaian kami, lalu keluar menuju ruang
depan.
"Sudah baikkan rasanya Dik Ais?," aku langsung bertanya
pada Ais yang memandang heran ke arah kami di ruang depan. Gawat
pikirku, pasti Ais mengetahui apa yang terjadi dan akan melaporkannya
pada Pak Budi nantinya.
"Ohh, ini lo sayang, Mas Billy
ngobatin kamu dengan ruwat khusus, jadi harus nginap di sini untuk
begadang semalam suntuk. Ibu menemani ngobrol," Bu Budi seakan tahu
sorot curiga di mata Ais.
"Ehmm, maaf ya Mas Billy, Ais jadi
ngerepotin," untunglah Ais bisa dikelabui, kalau tidak berabe juga
dong. Setelah basa-basi sebentar, aku lalu pulang ke rumah kontrakanku
dan siapkan diri ke kampus lagi pagi itu. Entah kapan aku bisa
menyetubuhi wanita semacam Bu Budi lagi.
Aku masih di kota M dan
masih kuliah. Pagi ini aku kedatangan pasangan suami istri, Toto dan
Juminah, mereka datang dari kampung yang letaknya sekitar 25 Km dari
rumah kontrakanku. Katanya sih mereka tahu aku bisa ngobatin penyakit
secara supranatural dari tetangga mereka, Pardi. Aku sendiri lupa apa
pernah ya aku ketemu orang namanya Pardi atau tidak. Singkatnya,
pasangan Toto yang sopir truk antar pulau dan Juminah yang pembantu
rumah tangga itu datang padaku dengan keluhan pingin cepat dapat anak.
"Benar
lo Mas, berapapun biayanya saya usahakan asal kami bisa punya
momongan. Wong kami ini sudah tujuh tahun kawin lo Mas," Toto memohon
mohon padaku diruang tamu, sementara Juminah hanya ikut manggut-manggut
setiap suaminya bicara.
Toto adalah pria bertubuh ceking
dan usianya sekitar 40 tahunan, sedangkan Juminah walau agak kampungan
dan lusuh tapi terlihat jauh lebih muda dengan usia sekitar 29 tahunan.
Body Juminah yang agak gemuk terlihat serasi dengan tinggi tubuh yang
lebih tinggi 5 cm dari Toto.
"Emangnya seminggu berapa
kali kalian melakukan hubungan badan," setelah puas menilai penampilan
dua tamuku itu, aku pun mulai meluncurkan pertanyaan dengan mimik
serius.
"Eh.. Anu Mas. Kadang-kadang dua kali seminggu,
atau malah kadang dua minggu sekali, soalnya saya 'kan sopir truk antar
kota Mas. Kadang saya nginap diluar kota, jadi nggak sempat gituan,"
Toto menjawab malu-malu, Juminah malah tertunduk habis.
"Oh..
Begitu toh. Pantas kalian susah dapat momongan, wong jarang kumpul dan
kerja berat terus sih," aku berujar sambil menenggak kopi pagiku.
"Oke
sekarang kalian tenang saja, biar aku bantu masalah kalian. Nah
sekarang kalian masuk ke kamar itu dan tunggu aku ya," pintaku pada
tamuku sambil menunjuk kamar praktikku.
Beberapa menit
setelah mereka masuk, aku langsung nyusul, di kamar itu aku duduk di
kursiku sementara mereka di kursi tepat depanku yang dihalangi meja
kerjaku.
"Begini Mas Toto, ini kan untuk kebaikan kalian
berdua jadi kumohon jangan rikuh dan risih dengan ruwatan pengobatan
yang akan kulakukan ya, bagaimana? bisa apa nggak?," tanyaku.
"Oh.. Monggo saja Mas, kami memang siap apa saja untuk dapat anak kok," Toto menjawab.
"He-eh Mas kami siap kok," Juminah menimpali.
"Kalau
begitu sekarang kalian buka baju dan ganti pakai sarung ini ya, terus
tiduran di dipan itu," kuberi dua lembar sarung bermotif bunga dan
menunjuk dipan di kamar praktikku. Pasangan dari kampung itu nurut saja
dan sekejap kemudian sudah berbaring berdampingan di dipan, hanya pakai
sarung tok.
Aku berdiri mendekati pasangan yang sudah pasrah itu, mereka kuperciki air kembang sambil merapal mantra seadanya dibibir.
"Sekarang tolong kalian bersetubuh ya, iya bersetubuh, main, ngeseks..," perintahku disambut keheranan keduanya.
Tapi
mereka tak punya pilihan, toh mereka butuh bantuanku. Toto langsung
saja membuka sarungnya dan mempreteli sarung Juminah hingga keduanya
bugil tulen. Bibir Toto yang agak monyong langsung nyosor menciumi
sekujur tubuh Juminah, sedangkan tangannya mulai gerilya di bagian
vagina istrinya itu.
Wah, pemanasan seks pasangan ini
rupanya kurang ahli, pantas saja sudah dapat anak. Lima menit kemudian
Toto main tancap saja, padahal penisnya yang imut belum tegak benar
sehingga kelihatan agak susah menembus vagina Juminah yang masih kering
belum terpacu birahi.
"Duuhh belum Mas, susah sekali masuknya," Juminah menggerutu tapi tetap aku dengar.
Toto
tak peduli dan terus menggenjot pantatnya, menggesek gesek penisnya
yang masih layu ke permukaan vagina Juminah dengan napas memburu, nafsu
benget.
"Ohh yess.. Ahh," Toto sudah tamat sebelum
penisnya belum masuk utuh ke vagina Juminah, ia langsung KO dan
menggelepar disisi istrinya.
"Wah.. Wah.., Mas Toto ini
gimana sih. Bagaimana mau punya anak kalau sperma sampeyan nggak nyiram
rahim Mbak Jum. Payah sampeyan ini Mas," kataku memberi komentar.
Toto
dan Juminah kembali duduk dihadapanku dihalangi meja, lalu kujelaskan
bagaimana proses pembuahan yang dibutuhkan rahim wanita sebelum
akhirnya hamil dan melahirkan.
"Mas Toto kulihat burungnya
kurang kuat ya, kok baru gesek-gesek sudah KO. Tuh Mbak Jum belum
rasain apa-apa. Iya kan Mbak?," Juminah tertunduk malu mendengar
pertanyaanku, Toto malah garuk-garuk kepala, mereka masih pakai sarung
tok.
"Terus gimana caranya Mas supaya aku dapat momongan toh," Toto bertanya.
"Caranya
ya perbaiki mutu seks kalian itu, terutama Mas Toto, burungnya harus
kuat sehingga nyembur pejuhnya di dalam vaginanya Mbak Jum, gitu loh.
Selain itu nanti kuberi ramuan," kataku menjelaskan.
"Anu
Mas, punya Mas Toto memang nggak bisa lebih dari itu kok, padahal sudah
minum banyak jamu, tapi begitu terus," Juminah menyelaku.
"Ya mau bagaimana lagi wong memang begitu," Toto protes.
"Oke-oke,
supaya Mas Toto lebih sip, gimana kalau aku contohkan cara main yang
tepat, biar pas dan cepat dapat anak," aku menawarkan. Mereka saling
pandang kemudian memandangku lagi.
"Terserah bagaimana baiknya Mas," Toto dan Juminah menjawab hampir serentak.
"Oke sekarang Mas Toto duduk disini dan Mbak Jum silahkan tiduran lagi di dipan," perintahku.
Toto
duduk dikursi tadi, Juminah sudah berbaring berbalut sarung sebatas
dada, aku mendekati dan mencipratkan air kembang ke sekujur tubuhnya.
"Begini
Mas Toto, perhatikan cara menaikan birahi istri pada langkah pertama,"
kataku seraya menurunkan kain sarung Juminah sampai ke perut. Aku
duduk disamping Juminah yang tiduran, lalu kuraba-raba dua gundukan di
dada Juminah, meski sudah tujuh tahun kawin, rupanya susu 36B Juminah
masih kencang kayak perawan.
"Ihhss geli Mas.. Aku malu ah..," Juminah menepis tanganku, tapi kemudian membiarkan lagi tangan itu beraksi.
"Mas
jangan cemburu ya ini untuk kebaikan sampeyan juga kan," kulanjutkan
aktifitasku dan Toto hanya manggut-manggut memberi restu. Kini bibirku
mulai aktif menjilati susu Juminah bergantian kanan dan kiri. Hisapan
dan jilatan terus kulakukan sampai lima menit lamanya.
"Hsshh
aauuhh.. Emmffhh maasshh.. Aahkk," Juminah mendesis dan
menggeliat-geliat karena hisapanku di susunya, tangannya malah sudah
mendekap kepalaku seperti enggan kalau kulepas hisapan itu.
"Gimana Mbak Jum? enak?,"
"Ehmm
iiyah Mas," Juminah menatapku sayu, wajahnya cukup manis kalau begitu,
rasanya mirip artis Denada Tambunan, body gemuknya pun mirip waktu
Denada belum diet (Sorry ya kalau Dena ikut baca, abis emang mirip
sih).
"Nah Mas Toto sekarang lihat nih tahap kedua
merangsang birahi istri," aku mengambil posisi jongkok tepat diantara
dua paha Juminah yang ngangkang. Vagina Juminah sepintas kelihatan
jorok, apalagi bulunya hitam, panjang, sembrawutan lagi. Kuusap pelan
bagian sensitif Juminah dari bawah ke atas dan terus begitu beberapa
kali.
"Auuhh mashh geliih ahhss," pinggul Juminah naik turun mengikuti tanganku yang mengusap vaginanya.
Saat
cairan kental mulai membasahi bagian itu, aku langsung merunduk dan
menciumi bibir vagina Juminah, aroma vagina cewek kampung memang asyik
dan alami. Kugunakan lidahku menjilati bibir dan klitoris vagina
Juminah, membuat Juminah kalang-kabut dan menggelinjang tak karuan.
Kuintip mulut Juminah sedikit terbuka dan merintih-rintih, rambutku
dijambak-jambak Juminah. Sementara Toto serius melihat bagaimana
istrinya sedang kubuat birahi tinggi. Gerakan tubuh Juminah yang agak
gemuk membuat dipan bergerenyit, kreyat-kreyot, tapi makin asyik. Aku
sendiri mulai merasa birahi, penisku mulai tegang dan mendesak CD yang
kupakai. Hampir 10 menit kujilati vagina Juminah, sampai kurasakan dua
pahanya keras menjepit kepalaku dan jambakan pada rambutku makin
kencang.
"Aahhss aahhdduhh.. Iihhss.. Mmmff..," Juminah
sampai pada orgasmenya, gerak pinggulnya menghentak-hentak kepalaku
yang dijepit pahanya, lalu jepitan itu lunglai, Juminah lemas.
"Gimana Mbak Jum, ringan rasanya?" aku bertanya sambil melepaskan pakaianku sampai bugil juga.
"Iyaah mass agak ringan, enak sekali rasanya," Juminah masih menatapku dengan birahinya.
"Nah
Mas Toto, sekarang lihat tahap terakhir ya. Bagaimana caranya masukkan
penis ke vagina supaya cepat hamil," aku berkata pada Toto yang tetap
serius memperhatikan.
Juminah terbaring pasrah dengan dua
paha mengangkang lebar, vaginanya yang kuyup jelas terlihat karena bulu
lebatnya lusuh oleh cairan vaginanya. Penisku yang sudah maksimal
berdiri kusisipkan di bibir vaginanya dan tubuhku mulai menindihnya,
susu Juminah kembali jadi sasaran jilat dan hisapku.
"Sabar ya Mbak Jum, pasti tak buat kamu ketagihan," bisikku di telinga Juminah.
"Uhh
mass, teruskan apa maumu mass..," Juminah tak sabar menunggu penisku
menembus vaginanya. Bless.. Jleepp, penis kudorong masuk menembus
vagina Juminah yang masih terasa rapat dan nikmat, Juminah merintih
tertahan merasakan benda yang masuk tak seperti yang selama ini
dirasakan dari Toto.
"Eh Mas Toto, kok bengong. Nah ini
Mas caranya yang betul, tuh lihat burungku masuk utuh ke vaginanya Mbak
Jum," aku memberi tahu Toto, dia manggut-manggut saja dan melongo
melihat istrinya kelepar-keleper kubuat.
"Ahhyoo mass..
Aku ngghhaakk kuaatt, ohh..," pinggul Juminah terus naik mendesak
penisku supaya bergerak di vaginanya. Kupeluk tubuh gemuk Juminah,
kugenjot penisku, kepala Juminah bergerak tak beraturan, rintih dan
desahnya makin menjadi-jadi.
"Enak Mbak Jum.. Hehh, enaak ndaak mBHaak,"
"Iyahh oosshh.. Eenhhaak, teruusshh mashh aauhh,"
"Mmmffhh
ehmnnff," bibir Juminah yang agak tebal tapi seksi kulumat habis, aku
jadi nafsu banget dengan bau keringat ketiak Juminah yang khas kampung
itu. Kugenjot makin kuat dan makin teratur, Juminah pontang-panting
mengimbangi gerakanku dengan menggoyang pinggulnya.
Permainan
kami cukup panjang tapi Juminah belum kelihatan menyerah, posisi
segera kuubah, kubalik tubuh kami sehingga Juminah yang jadi menindih
tubuhku.
"Mas Toto, kalau lagi main, burung sampean nggak
bisa masuk, gini cara yang tepat supaya imbang," kataku, Toto masih
saja manggut-manggut, terpesona melihat bagaimana istrinya yang kini
menggenjot aku.
"Duuhh.. Iisstthh, kokhh tambah ennahkk
begini.. Masshh.. Auhh," Juminah kini bagai joki diatas penisku,
tubuhnya yang gemuk dan lemak pahanya membuat kenikmatan yang asyik di
penisku, aku menarik tubuhnya sampai dia merunduk dan menyasar lagi
susu ranumnya dengan isapan lidahku.
"Ayoo Mbaak Jum, ambill nikmatnya Mbak..,"
"Ahh..
Enghh.. Mmmffhh, ohh iyakhh mashh.. Akuu enaakkhh.. Mahhss.. Ahhss,"
goyang pinggul Juminah makin menekan penisku, makin lama gerakannya
makin kuat. Wajah Juminah semakin ayu dalam keadaan seperti itu, mata
sedikit terpejam, bibir terbuka mendesis, kepalanya gerak kanan kiri
diatas tubuhku.
Kurasa vaginanya makin membasah, ini saat
yang tepat meghajarnya hingga puncak pikirku. Sekejap aku ubah posisi
kami lagi, dengan berputar kekiri kini tubuhku kembali diatas tubuh
Juminah, tanpa memberi kesempatan padanya, aku terus menggenjot penisku
menghujam-hujam vaginanya.
"Aaahh.. Akuu piipisshh
mashh.. Ouhh.. Emhhff.. Ohhss..," tubuh Juminah kejang, dinding
vaginanya berkontraksi berkali-kali dalam genjotan penisku, sampai
akhirnya kepala Juminah lunglai, menandakan orgasmenya sudah utuh dan
tuntas. Toto terpana melihat raut puas istrinya, sementara aku masih
teratur menggenjot tubuh Juminah.
"Ahh Mas To.. Ini puncak
namanya aauhhkkhh..," kurasa cairan spermaku tak mungkin kubendung
lagi, kutarik penisku dari liang nikmat Juminah, dan sekejap semburan
spermaku tumpah membasahi perut Juminah.
"Uhh.., itu
namanya pejuh Mas, dan itu harus ditumpahkan didalam vagina Mbak Jum,
supaya hamil. Kalau Mas To tumpahnya diluar terus kapan hamilnya Mbak
Jum," aku bangkit menyuruh Toto melihat sperma kentalku diperut
Juminah.
"Lohh kok nggak ditumpahin didalam saja Mas, biar dia hamil," Toto benar-benar blo'on.
"Wah
Mas ini gimana. Kalau spermaku masuk ke vagina Mbak Jum dan Mbak Jum
hamil, berarti itu anak ya anakku jadinya, bukan anak sampeyan, gimana
sih," cerocosku sambil kembali mengenakan pakaian, mereka juga kembali
pakai pakaian masing-masing.
Setelah itu, kami basa-basi
sejenak, dan kubuatkan ramuan kuat untuk Toto supaya greng kalau tempur
sama Juminah. Mereka kemudian pulang dan menyisipkan uang pecahan
ribuan yang jumlahnya sampai lima puluh lembar.
Oh ya,
sejak itu, kira-kira sebulan kemudian pasangan itu datang lagi dan
minta diajari lagi begituan. Aku kembali senang bisa bersetubuh dengan
Juminah yang sintal dan montok, dan Toto senang bisa belajar memuaskan
istrinya. Kabar terakhir yang kudengar, tiga bulan kemudian Juminah
hamil. Entah itu anak siapa, soalnya waktu datang kedua kali aku
tumpahkan spermaku dalam vagina Juminah, habis nggak tahan sama
rintihannya itu. Tapi aku tetap berharap anak itu anak Toto, hasil
sperma Toto. Sejak dikabari aku kalau Juminah hamil, mereka tak lagi
datang padaku, karena kusarankan supaya mereka kontrol ke puskesmas saja
untuk kehamilan Juminah